Emotional First Aid (Pertolongan Pertama pada Luka Psikologis)
Apa itu Emotional First Aid?
Emotional First Aid adalah istilah yang dipopulerkan oleh Guy Winch, seorang Psikolog dari AS, untuk menggambarkan mekanisme ‘pertolongan pertama’ terhadap luka-luka emosional atau hantaman psikologis yang dialami individu. Pertolongan pertama ini diberikan untuk menghindari terakumulasinya luka-luka psikologis yang dialami seseorang hingga kemudian menjadi permasalahan yang lebih serius, seperti gangguan mental.
Nah, EFA sebenernya diperlukan dalam situasi seperti apa sih?
Dalam bukunya, Winch menjabarkan 7 macam luka emosional yang sering ditemui (dan sering diabaikan). Luka emosional (emotional wound) atau luka psikologis (psychological wound) berbeda dengan gangguan psikologis atau gangguan mental (mental disorder) ya, teman-teman
The 7 Common Emotional Wounds
(1) Loss
Kehilangan seringkali identik dengan peristiwa yang besar, seperti kehilangan orang terkasih atau kehilangan barang berharga. Padahal, hal se’sepele’ apapun, jika hal tersebut memiliki nilai emosional bagi kita, maka kehilangannya tetap akan meninggalkan luka psikologis, lho. Meski kadang kita sendiri tidak menyadari atau justru meremehkan intensitas luka tadi.
(2) Failure
Studi membuktikan bahwa kegagalan dapat mendistorsi persepsi kita terhadap tujuan dan kemampuan kita secara signifikan.
Dampaknya? Kita akan merasa bahwa tujuan yang sudah kita susun adalah impossible untuk dicapai, karena kita tidak cukup mampu untuk ke sana. Selain itu, kegagalan juga sangat bisa memunculkan rasa helpless dan membuat kita lebih mudah putus asa.
(3) Rumination
Familiar dengan istilah overthinking? Yep, sederhananya, rumination adalah ketika kita memikirkan sebuah peristiwa yang menyakitkan secara berlebihan dan berulang-ulang. Pernah nggak, kamu mengulang-ulang adegan ketika kamu disakiti oleh seseorang? Baik dalam bentuk bercerita ke orang lain, atau sekadar memikirkannya sebelum tidur dengan dalih “mencari tahu apa sebenarnya yang salah”. Kalau kamu terlalu banyak merenung, chances are, kamu bukan sedang problem-solving, tapi justru sedang menyakiti diri sendiri alias emotional self-harm.
(4) Rejection
Penolakan bisa dikatakan sebagai luka emosional yang paling konkrit sakitnya. Ini terjadi karena secara neurologis, otak kita memproses pengalaman ditolak di area yang sama seperti pengalaman terluka secara fisik. Hence, beberapa studi menyebutkan bahwa painkiller bisa membantu meringankan rasa sakit yang muncul dari penolakan.
Dampak dari penolakan sendiri sangat beragam, mulai dari meningkatkan agresi, menggoyahkan ‘sense of belonging’, menghancurkan kepercayaan diri, dan bahkan menurunkan IQ. Padahal, belonging adalah salah satu kebutuhan dasar manusia versi Maslow. Ketika salah satu kebutuhan ini tidak terpenuhi, individu tidak akan bisa mengaktualisasikan diri.
(5) Loneliness
Kesepian, seperti luka psikologis lain, memiliki dampak yang luar biasa. Kesepian membuat tubuh memproduksi hormon stress lebih cepat dan lebih tinggi, sehingga stressor serupa yang dialami orang kesepian akan lebih destruktif, dibandingkan ketika dialami orang yang memiliki support system. Selain itu, rasa kesepian juga merusak kualitas tidur, sehingga, dalam jangka panjang, dampaknya akan sangat buruk untuk kesehatan fisik dan psikis.
(6) Guilt
Dalam dosis kecil, rasa bersalah adalah sebuah mekanisme pendorong bagi kita untuk melakukan tindakan prososial alias berbuat baik (i.e.: ngucapin ulang tahun ke teman karena kamu bakal merasa bersalah kalau nggak ngucapin). Dalam dosis besar, however, rasa bersalah bisa mendorong kamu untuk self-punishing atau menghukum diri sendiri. Fenomena ini disebut The Dobby Effect; terinspirasi dari tokoh peri rumah Dobby dalam Harry Potter yang digambarkan selalu menghukum dirinya sendiri out of guilt.
Selain itu, rasa bersalah juga akan membuat kamu merasa lebih berat. Literally. Studi membuktikan bahwa orang cenderung akan mempersepsikan BB-nya sebagai lebih berat dari BB aslinya ketika mereka merasa bersalah.
(7) Low Self-Esteem
Dampak dari low self-esteem atau harga diri rendah tidak hanya muncul dalam bentuk insecurity. Permasalahan seperti hubungan interpersonal yang terganggu, adiksi, depresi, dan gangguan kecemasan bisa muncul apabila self-esteem yang rendah ini tidak segera ditangani.
Parahnya, hampir segala macam luka psikologis akan berdampak besar pada self-esteem, sehingga luka emosional yang satu ini paling sulit untuk dihindari. Ketika self-esteem sudah mengalami benturan, kita akan lebih sulit bangkit dari luka psikologis yang dialami, karena ia berfungsi sebagai semacam sistem imun untuk psikis kita.
7 macam luka emosional tadi masing-masing memiliki dampak yang berbahaya, tidak hanya bagi psikis, tapi juga bagi fisik dalam jangka panjang. Nah, di sinilah EFA menjadi krusial untuk dipraktekkan.
Apa yang terjadi pada luka yang tidak ditangani? Yup, infeksi. Sama halnya dengan luka fisik, luka psikologis pun akan memiliki komplikasi dan dampak yang berbahaya jika dibiarkan.
Sebahaya apa? Well.
Luka emosional, apabila terakumulasi, akan merusak kualitas hidup kita secara keseluruhan. Kesepian kronis, misalnya, sering dikaitkan dengan munculnya gejala depresi dan gangguan kecemasan. Padahal, depresi merupakan salah satu penyebab utama perilaku menyakiti diri sendiri dan bunuh diri. Parahnya lagi, bunuh diri merupakan penyebab kematian tertinggi kedua di dunia. Kedua. Dari segala penyebab kematian yang ada. Jadi, luka emosional bisa sama mematikannya dengan luka fisik, apabila tidak ditangani.
Di sisi lain, penanganan yang benar akan membuat kita lebih resilien atau lebih tahan menghadapi hantaman emosional, lebih sehat secara psikis dan fisik, memiliki kualitas hidup yang lebih baik, dan akan lebih bahagia.
Setelah tau kenapa EFA itu penting untuk dilakukan, pastinya kita perlu tahu bagaimana caranya mempraktekkan Emotional First Aid itu tadi.
Lain halnya dengan tahap-tahap pemberian P3K yang cenderung praktis dan konkrit, tahapan EFA lebih banyak fokus pada merubah cara berpikir kita.
How to Practice Emotional First Aid?
1) Perhatikan, kenali, dan pahami luka emosional yang kamu alami.
Jangan terbiasa menganggap sepele sakit hati yang kamu alami. Apabila kamu merasa membutuhkan dukungan dari orang lain, lakukan sesuatu. Hindari memberi ‘kode’ dan komunikasikan langsung apa yang kamu butuhkan ke orang-orang yang bisa kamu percaya. Menebar ‘kode’ dan berharap ada yang mengerti cenderung akan membuat kamu merasa ditolak ketika respon yang kamu dapatkan tidak sesuai ekspektasi.
2) Lakukan sesuatu ketika kamu kesepian.
Chat teman kamu, ajak makan, ngopi, atau sekadar ngobrol. Jangan menunggu hingga ada yang seek out kamu, karena semakin lama kamu menunggu, artinya semakin lama kamu membiarkan luka emosionalmu terbuka tanpa penanganan.
3) Rubah cara kamu merespon kegagalan.
Lakukan sesuatu yang praktikal, misal mencatat evaluasi pribadi atau kesalahan yang kamu lakukan, yang kamu pikir dapat menjadi penyebab kegagalanmu.Hindari mencerca diri sendiri, dan fokus pada apa yang bisa kamu lakukan, dibanding apa yang tidak bisa kamu lakukan.
4) Lindungi self-esteem kamu.
Ketika kamu mengalami luka emosional, harga diri kamu sudah take a hit. Jangan diperdalam. Bedakan self-critique dengan self -hate.
Ketika kamu mengevaluasi diri, bayangkan kamu akan menulis surat untuk teman yang sedang mengalami hal yang kamu alami. Tuliskan bentuk dukungan, kasih sayang, dan saranmu untuk teman tersebut. Kemudian, baca ulang surat tersebut. Apa yang kamu tulis di surat itu adalah apa yang harusnya kamu katakan pada dirimu sendiri.
5) Lawan pikiran negatif.
Cari distraksi berupa aktivitas yang membutuhkan perhatian penuh, sehingga kamu tidak punya waktu untuk berpikir macam-macam dan memperburuk luka emosional kamu.
Aktivitas seperti olah raga, menonton film, memasak, main catur, atau aktivitas lain yang membutuhkan fokus dan peran indera yang banyak akan sangat membantu ketika kamu sedang banyak pikiran.
Temen-temen mungkin pernah mendengar istilah “the demon is in your head”. Dalam konteks psikologis, istilah ini adalah very, very real. Permasalahan psikologis berawal, berproses, dan bertumbuh di dalam pikiran kita masing-masing, sehingga yang bisa memecahkan masalahnya pun adalah kita sendiri.
Sesi Pertanyaan
Setelah baca paparan 7 luka psikis, aku jadi tau kalo kadang kita seringkali g hanya mengalami satu mcm. Yg sering kita alami pasti satu luka mayor dan ada luka lain yg jadi imbas, layak efek domino gtu.
Nah gmn kita bs memutus mata rantai ini biar g tambah parah?
Ada kalanya kita ada keinginan utk mengubah pola pikir kita tapi entahlah kadang sungguh sangat sulit utk mengendalikan alam bawah sadar kita (contohnya kita selalu berusaha berpikir positif utk menyenangi suatu pekerjaan tapi ternyata pikiran alam bawah sadar kita selalu menolak) nah bgmn kita bs escape mslh ini? Perlukah kita menemui psikolog?
(1) Bagaimana menghentikan efek domino dari luka emosional yang dialami?
Kita analogikan luka emosional ini sebagai sebuah penyakit. Ketika tidak ditangani, penyakit ini bisa menyebar, menyerang organ-organ vital dan menurunkan fungsi tubuh. Sama. Luka psikologis yang dibiarkan pun bisa menyerang fungsi afektif, kognitif, dan lain sebagainya. Maka, yang harus segera dilakukan adalah pertolongan pertama.
Bentuk pertolongan seperti apa yang perlu kita dapatkan? Sesuaikan dengan kebutuhan. Tanyakan dan dengarkan diri kita sendiri. Pahami apa yang kita butuhkan. Apakah kita butuh sendiri atau butuh teman. Apakah kita butuh distraksi atau butuh membicarakan masalah kita. Apakah kita butuh beraktivitas atau butuh beristirahat.
Jangan sampai salah penanganan juga. Misal, ketika kita meyakinkan diri bahwa kita ingin sendiri, dalami lagi, apakah kita benar-benar sedang ingin sendiri, atau ingin ditemani tanpa harus membicarakan masalah kita. Jadi, yang bisa kita lakukan adalah pertolongan pertama itu tadi. Jangan dibiarkan terlalu lama. There is no shame in seeking for help.
(2) Bagaimana cara merubah pikiran menjadi lebih positif (terutama ketika rasanya sulit sekali berpikir positif)?
Merubah mindset harus diawali dengan perubahan sikap dan perubahan cara pandang. Seringkali, alam bawah sadar atau unconsciousness kita menolak untuk berpikir/berprasangka baik pada suatu hal karena kita sudah punya skema atau sekumpulan informasi jelek tentang hal tersebut, sehingga informasi baik sulit untuk masuk dan diproses. Ibarat puzzle yg nggak sesuai.
Salah satu cara untuk menghadapinya adalah dengan merubah cara pandang kita. Hapus semua informasi yang sudah kita miliki tentang suatu hal atau peristiwa, dan mulai lihat peristiwa tersebut dari berbagai sisi.
Misal, ketika putus. Alih-alih fokus pada rasa sakit dan rasa penolakan yang kita alami, mulai lihat dari sudut pandang lain, misal melihat dari bagaimana luka itu tadi mengajari kita untuk lebih resilien atau kuat.
Untuk perlu tidaknya ke Psikolog, menurut saya itu adalah the last resort. Apabila masih kuat, masih memiliki support system, mungkin belum perlu ke Psikolog. Tapi, memang, Psikolog akan bisa memberi arahan dan tahapan yang lebih konkrit ketika masalah yang dialami sudah terlalu ruwet.
(3) Bagaimana menolong orang yang mengalami luka psikologis?
“Menemani” tidak harus selalu berarti membahas masalah yang sedang dialami teman, ya. Seringkali, orang yang sedang terluka justru tidak ingin kita untuk membantu dengan nasihat atau dengan rasa kasihan.
Hal paling penting ketika kita mau membantu adalah pahami apa yang dia butuhkan dan jangan pernah memaksa. Kalau teman kita ingin bicara tentang hal yang tidak ada hubungannya dengan masalah dia, dengarkan. Kalau teman kita ingin melakukan aktivitas untuk mengalihkan pikiran dia dari masalah itu, temani.
Ketika kita terluka, kita sendiri yang tahu seberapa sakit, dimana sakitnya, apa yang membuat sakit. Percaya bahwa teman kita itu pun telah memahami dirinya sendiri.
(4) Bagaimana cara menyikapi relapse atau orang yang relapse?
OK, mungkin perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa luka psikologis tidak sama dengan gangguan psikologis, ya. Luka psikologis tidak memiliki gejala khusus; it just is.
Relapse adalah ketika seseorang sedang berada dalam tahap recovery dari gangguan psikologis, namun mengalami kemunduran progress alias “kumat”.
Cara menghadapinya berbeda setiap orang, tapi kuncinya tetap sama seperti apa yang saya sampaikan tadi, pahami apa yang mereka butuhkan dan jangan memaksa. Sedekat apapun hubungan kita dengan teman tsb, kita perlu menghargai boundaries-nya, karena orang yang sedang mengalami relapse umumnya merasa kehilangan kontrol akan dirinya. Jadi, hal sesederhana seperti kita bertanya apakah boleh memegang pundak dia atau tidak, itu akan memberi dia sense of control-nya kembali. It can help.
(5) Mana yang didahulukan; menyembuhkan dari dalam diri atau lewat aktivitas fisik?
Keduanya harus seimbang, kak. Bener banget yang disampaikan bahwa olahraga dapat meningkatkan dopamine (happy hormone) dan serotonin, serta menurunkan hormon stress. Tapi, aktivitas fisik yang tidak dibarengi dengan pengembangan pikiran-pikiran positif hanya akan menjadi distraksi, dan luka psikologis kita bisa tetap tidak tertangani.
Karena, iya, hormones make it easier, tapi kalau kita tidak secara aktif berusaha menyembuhkan pikiran kita sendiri, maka kita baru melakukan 50% dari proses penyembuhannya. Aktivitas fisik berfungsi sebagai penyeimbang dan distraksi. Tapi ketika distraksi itu tidak dibarengi dengan proses penyembuhan yang sesungguhnya, ya hanya akan menjadi distraksi saja.
(6) Bagaimana kita mengidentifikasi apa yang sebenarnya kita butuhkan?
Ada 2 macam cara menghadapi stres atau stressor, yaitu (1) problem-focused coping, dan (2) emotion-focused coping. Coba refleksikan dengan diri sendiri terlebih dahulu, kita tipe yang mana.
Problem-focused adalah, sederhananya, selesaikan dulu masalahnya, nangis kemudian. Sementara emotional-focused adalah nangis dulu, selesaikan masalahnya kemudian. Apabila dalam dosis yang benar, keduanya oke-oke saja.
Kalau kamu tipe yang kedua, misalnya, nggak masalah meluangkan waktu untuk menangis atau meluapkan emosi. Setelah itu, atur napas, tenangkan diri, dan tanyakan pada diri sendiri, apa yang kita butuhkan. Jangan memaksa. Jangan merasa kita “harus” melakukan suatu hal. Lakukan apa yang rasanya paling bisa membantu menyembuhkan luka tadi. Komunikasi itu penting, bahkan dengan diri sendiri.
(7) Bahagia terus, apakah normal?
Asalkan rasa bahagia dan cerianya itu tidak berlebihan (histeria) dan tidak mendorong untuk jadi agresif atau impulsif, artinya normal, kak. Itulah yang disebut manusia yang berfungsi sepenuhnya, kalau kata Rogers. Atau manusia yang teraktualisasi, kalau kata Maslow. Tapi, bahagia di sini bukan karena emosi negatifnya dipendam, ya. Karena emosi negatif dan luka psikologis harus diproses, bukan dipendam dan ditekan. Kalau masih ada emosi atau luka yang tidak ditangani alias dipendam, itu baru kebahagiannya berbahaya karena bisa saja semu.
Mengambil sedikit kata-kata dari Guy Winch; Kita tidak akan memperdalam luka fisik, maka kenapa kita sering memperdalam luka emosional?
Be kinder to yourself, dan jangan lupa bahagia!
Leave a Reply