Kisah sebelumnya:
Kisah Ahmad Karim: Antropologi yang Menjadi Jendela Dunia (Bagian 1)

Membuka Jendela Mimpi bersama Istri

Bagi jomblowan yang cintanya sering tertolak dan kandas di tengah jalan, barangkali gombalan janjimu ketika menembak atau melamar si doi terlalu dangkal, kalau pake istilah kids jaman now terlalu cemen, sehingga doi bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa “kamu tidak serius memperjuangkanku!” Iya, ketika melamar istriku dulu, aku menjanjikan sesuatu yang menurutnya mustahil, bahkan menurutku sendiri juga mustahal, mengajaknya ke Amerika. Dan coba tebak apa jawaban dia? Yup, d-i-t-o-l-a-k, saat itu juga! Apakah penolakan itu menjadi akhir cerita? No! Justru itulah awalnya. Ingatlah, wanita memiliki kapasitas memori yang lebih kuat, apalagi kalau sudah dijanjikan sesuatu, dan aku seratus lima persen yakin belum ada satu orangpun yang saat itu menjanjikan hal yang sama kepadanya. Bahkan, tanpa disadarinya janji itu sudah masuk ke alam bawah sadarnya. Sehingga jurus selanjutnya jangan sekali-kali mundur, maju terus, hajaarr…kata Sabeum Tae Kwon Do-ku di kampus dulu. Yakinlah, jika Tuhan pun kemudian meluluhkan hatinya, karena akhirnya aku berhasil menikahinya dan membawanya terbang ke Amerika.

Janji itu, dan janji-janji gombal berikutnyalah yang mungkin membuat Tuhan juga ndak tega kepadaku dan memberi wangsit serta energi yang entah darimana asalnya untuk terus mewujudkannya. Bukankah syahadat iu juga janji, Pancasila itu janji, akad nikah isinya janji, sapaan salam juga bukan sekedar doa tapi janji untuk saling menyelamatkan. Dan orang berakal, siapapun dia, hidupnya adalah upaya memenuhi janji-janjinya, karena kalau sebaliknya, berarti ada masalah dengan akalnya. Anyway, janji lain yang ternyata juga diingat istriku adalah membantunya sekolah lagi. Janji yang dia sendiri juga tidak yakin aku bisa mewujudkannya, kalau acuannya adalah menanggung biaya kuliahnya dengan dompet pribadiku atau gajiku, kecuali aku pindah profesi menjadi pengusaha.

Ketika itu, sepulang dari S2 di Amerika bulan Juli 2014, aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk memburu dan mendaftar beasiswa S3 ke Eropa, lagi-lagi memenuhi janjiku mengajaknya melihat Aurora di langit Helsinki, tetapi tentunya setelah janji sebelumnya juga terpenuhi, yaitu gantian dia S2 dulu sebelum aku lanjut sekolah. Sebenarnya sangat sederhana, dan banyak sekali orang menanyakan “gimana sih caranya dapet beasiswa sekolah di luar negeri?”, dan aku selalu menjawab dengan satu kata, daftar! Setelah itu? Ya, setiap orang pasti beda-beda caranya, tapi yang sudah pasti harus dilakukan cuma satu, mendaftar! Cuma satu kata ini juga yang selalu aku sarankan untuk istriku, walaupun akhirnya dengan menambah subyek, “aku daftarkan”. Selanjutnya? Itu tugas dia! Gimana bisa lulus? Itu urusan Tuhan! Emang segampang itu? Iya! Yang sulit di tahap mana? Di kepalamu sendiri! Serius ini! Kata sulit itu keluar dari mulut seseorang yang terlalu gampang berkompromi dengan janjinya.

Sebutlah nama Beasiswa LPDP RI, dan tentunya pilihan-pilihan sumber lain banyak sekali, karena tujuannya adalah mendapat beasiswa, pilihan wajibnya hanya satu, mendaftar. LPDP menawarkan pilihan luar biasa banyak yang belum pernah ada di negeri ini untuk siapa saja dan dari mana saja yang berminat sekolah lagi di seluruh penjuru dunia. Pilihlah dan ikuti semua prosesnya, berdoa, tunggu hasilnya. Ah yang bener cuma kaya gitu? Beneran! Coba ceritakan sedikit dramanya? Nah, kalau ini semua orang pasti mengalami drama yang berbeda-beda. Trus-trus?

Begini, bahkan dari awal, syarat paling mendasar yang harus aku dan istriku lampirkan ketika mendaftar belum punya. Apa itu? Skor test bahasa Inggris. Gimana caranya dapet skor yang bagus? Yang pasti, mendaftar, dan ikuti test-nya. Saat itu, skor TOEFL istriku cuma gopek lebih dikit (bahkan ketika lulus S1, skorku jauh lebih jongkok dari itu), padahal untuk mendaftar S2 luar negeri minimal 550. Sudah test beberapa kali. Berhasil? Ndak! Trus. Ya, tetep tak daftarkan, meskipun istriku ngeyel (untuk menunggu sampai dapet skor sesuai persyaratan), aku juga ngeyel (tetep tak daftarkan dengan skor apa adanya). Skor IELTS-ku juga cuma 6 (syarat minimal LPDP 6,5), itupun test tahun 2012 untuk mendaftar S2 yang juga tidak eligible, sudah kadaluarsa, dan aku ndak mau test-test gituan lagi, Insya Allah haqqul yaqin ga lulusnya. Tapi buktinya, ijazah S2 Amerika sudah aku miliki, dan ijazah itu ternyata sakti, karena LPDP bisa menerima ijazah S2 luar negeri dari negara-negara English-speaking countries sebagai pengganti skor test Bahasa Inggris dengan usia maksimal 2 tahun dari kelulusan (kalau soal ini sudah kubaca jauh-jauh hari, termasuk syarat essay dan tetek bengeknya yang sudah aku siapkan sejak masih di Amerika…hehe…karena kantorku juga mensyaratkan paling cepat 2 tahun baru bisa melanjutkan sekolah lagi setelah lulus S2). Dengan bismillah, mendaftarlah kita berdua, eh aku sendiri, karena istriku ga pede mendaftar sendiri dengan persyaratan yang belum sesuai. Hasilnya? God news: aku lolos tahap awal, bad news: istriku gagal. Wah, seneng campur sedih dong? Ndak sedih, cuma ngenes liat istriku nangis sambil bilang “tuh kan, dibilangin…ngeyel…!”

Aku pun sebenarnya galau dan cuma terngiang dengan janjiku. Momentum seperti inilah dalam hidup yang kadangkala membuat kita menjadi lebih mesra dengan Tuhan, karena banyak sekali yang kita alami dalam hidup benar-benar di luar jangkauan angan-angan kita. Beberapa hari menjelang jadwal wawancara LPDP, dan istriku sudah memantapkan hatinya untuk ikut saja denganku dan mengubur lagi mimpinya melanjutkan S2, tiba-tiba ada tawaran dari kantor yang cukup menggiurkan, dua acara keren sekaligus yang waktunya berurutan, plus bentrok dengan jadwal wawancara LPDP: (1) undangan konferensi tahunan bergengsi Social Enterprises (temen-temen yang bergelut dengan bidang ini pasti mafhum kalau UK adalah kiblatnya) dari British Council selama 1 minggu di London, UK, dan (2) program magang intensif  Local Economic Resource Deveopment selama 1 bulan di International University of Japan (IUJ). Dengan asumsi bahwa kesempatan kedua bisa dicoba bersama lagi untuk mendaftar LPDP pada batch selanjutnya, sudahlah aku putuskan mundur dari proses seleksi, dan aku janji test berikutnya lolos bareng. Bonusnya, dan aku anggap sebagai penambah sesi latihan untuk perlombaan di circuit sekolah berikutnya, aku terbang dulu ke London dan Tokyo, dua kota yang istriku juga ingin sekali melihatnya, dan aku juga janjikan mengajaknya suatu saat.

Njajal Maning

Singkat cerita, akhir tahun 2015 aku mendaftar lagi bersama istriku yang sampai saat itu skor TOEFL-nya belum juga cukup untuk S2 di luar negeri. Karena tidak mau mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya, istriku mendaftar untuk program S2 dalam negeri, dengan harapan yang penting mendapatkan beasiswa dulu, sambil mencari letter of acceptance (LoA) dari kampus di Finlandia dan negara Eropa lain. Batch sebelumnya masih memungkinkan perpindahan asal lolos dulu dan dapet LOA. Benar saja, kami berdua lolos, dan langsung teriak bersamaa…Aurora…eh, alhamdulillah dulu.

Sebentar, ternyata kebijakan untuk bisa pindah program seperti yang kami harapkan sudah dihapus. Ini agak pelik karena program yang diminati istriku S2 Psikologi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), padahal S1-nya Manajemen (bahkan ketika aku tanya kenapa ngga setia seperti aku soal jurusan, jawabnya singkat dan meyakinkan, wegah), dan LPDP hanya merekomendasikan UGM atau UI yang dua-duanya harus ikut proses seleksi masuk. Jika mengambil UI, maka total programnya adalah 2,5 tahun plus matrikulasi satu semester penuh, jika mengambil UGM, durasi programnya bisa hanya 2 tahun plus matrikulasi hanya 3 bulan, dan dua-duanya mengisyaratkan dan memaksa kami sebagai pasangan SLJJ (saling lindu jalak jauh). Akhirnya dengan segala pertimbangan, istriku ke UGM, sekalian menemani Ibu yang sudah tinggal sendiri, memberi kesempatan Alif anakku untuk mengenal HoNoCoRoKo, dan aku putuskan menikmati rutinitas Jakarta-Jogja PP menunda keberangkatan tahun berikutnya.

Drama itu Bernama LOA

Dalam proses “membujang lagi” di Jakarta, satu-satunya kampus yang kudaftar sebagai pilihan pertama adalah University of Helsinki. Mengapa Helsinki, selain karena janji Aurora, the Finland Phenomenon adalah jawabannya (bisa dilihat di YouTube). Dengan waktu yang menurutku cukup, satu tahun, aku sangat optimis mendapatkan LOA (Letter of Acceptance) dari Helsinki, apalagi segala amunisi sudah aku kerahkan. Mulai dari komunikasi intensif melalui email dengan calon profesor yang aku incar untuk menjadi pembimbing, sampai sempat bertemu secara langsung dengan direktur graduate school-nya ketika sama-sama menjadi panelis pada Simposium Jurnal Antropologi Indonesia di UI Depok pada April 2016. Namun, email yang masuk berkata lain, isinya permohonan maaf, alias ditolak, dan aku disarankan untuk mengubah tema proposal penelitian sesuai dengan bidang keahlian profesor yang ada, namun baru bisa mendaftar lagi pada jadwal pendaftaran tahun berikutnya.

Wah…wah…perih, lagi-lagi diingatkan pada harga yang harus dibayar untuk sebuah mimpi, karena dari dulu aku selalu yakin bahwa yang serba mudah didapat dan mudah dilakukan itu pasti tidak memenuhi prasyarat untuk disebut mimpi. Untunglah satu keyakinan lain yang ibuku sejak dulu tanamkan masih sangat kuat di pikiranku, “bersama kesulitan, pasti ada kemudahan”, garis bawahnya “bersama”, bukan “setelah” atau “dibalik”, tapi benar-benar pada waktu yang sama, karena logikanya sederhana, bersama siang, pasti malam di bagian bumi yang lain. Ajaibnya, di hari-hari penuh kebimbangan tersebut, ada email dari mantan profesor S2 di Indiana yang mengabarkan bahwa thesis-ku terpilih menjadi penerima the 2015 Indiana University Graduate School Distinguished Master’s Thesis Award. Pertengahan April 2016, aku diundang lagi ke Amerika di untuk menerima award tersebut, diberi kehormatan bicara di Public Seminar bersama profesorku yang baik itu, diajak sharing session di Method class yang beliau ampu, dan ditawarkan untuk melanjutkan S3 dibawah bimbingan beliau.

Sepulang dari Amerika dan berdiskusi dengan istriku, meski sebenarnya tinggal mengiyakan tawaran dan segera melaporkan ke LPDP untuk mengajukan perpindahan, aku kok yakin bahwa Amerika bukan lagi impianku. Alangkah sayangnya dunia yang seluas ini, dan ada kesempatan untuk melihat aneka rupa warnanya, hanya memilih untuk kembali ke belahan dunia yang pernah dijelajahi sebelumnya. Aku ingin kembali ke Eropa. Dan itu artinya, aku memilih bergerilya dan mencari peruntungan di kampus-kampus Eropa yang sudi menerimaku. Sejak saat itu, kantor sudah seperti rumah, karena selepas jam kantor, pekerjaan rutin selanjutnya adalah me-list satu-persatu kampus seluruh Eropa yang memiliki reputasi bagus pada program antropologi, masuk ranking terbaik yang ada di list LPDP, dan yang paling penting ada profesor yang cocok dengan proposal studiku dan mau menjadi pembimbingku. Beberapa kampus berikut sampai hafal halaman admission page­-nya, contact person-nya, syarat TOEFL/IELTS-nya berapa, bahkan nama-nama profesor yang aku incar dan hubungi via email, misalnya: University of Cambridge, Oxford University, London School of Economics (LSE), SOAS University of London, Goldsmiths University of London, University of Edinburgh, University of Manchester, Durham University, University of Copenhagen, University of Barcelona, dan Freie Universitaet Berlin.

Sampai dengan menjelang akhir tahun 2016, belum ada satupun kampus yang menerima pinanganku, dan mau memberikan LOA. Biasanya penolakan mereka halus senada seperti ini:

“The University receives thousands of applications, all from very able prospective graduate students, and the competition for the limited number of places is intense. This means that we are not able to offer admission to many good candidates.”

atau dengan bahasa yang sedikit PHP:

 “While your research interests, as outlined in your research proposal, match an area we have expertise in, no supervisor is currently available to supervise you. We regret we are unable to offer you a place on this programme.”

Kalimat-kalimat tersebut “menghantui-ku”, dan entah kenapa saat itu kampus-kampus di Belanda belum masuk radarku, padahal program antropologi terbaik ada di beberapa kampus di negeri itu. Berita baik itu baru datang di pertengahan bulan Februari 2017, ketika ada email masuk dari Durham University yang mengirimkan LOA conditional (masih harus menyerahkan sertifikat IELTS minimal 7). Beberapa hari kemudian dari SOAS University of London juga memberikan LOA yang sama, bahkan syaratnya lebih berat karena each band IELTS tidak boleh ada skor yang kurang dari 7. Setelah aku mencoba bernegosiasi, dua-duanya menolak memberikan LOA unconditional yang diminta LPDP sampai ada bukti skor IELTS yang mereka minta diterima. Padahal, tenggat waktu sudah sangat mepet dan tidak mungkin akan mendapatkan jadwal test di Jakarta, jikapun ada, aku pesimis nilai 7 bisa kudapatkan.

Rumus “bersama kesulitan” di atas muncul lagi, tanggal 19 Februari-4 Maret 2017 aku mendapatkan tugas dari kantor selama dua minggu untuk pelatihan Leadership, Poverty and Inequality Analysis di University of Sydney, Australia. Sebenarnya pelatihan ini sudah dijadwalkan tahun sebelumnya, namun kok ya ngepasi momentum kegalauan seperti biasanya. Bahkan ketika berada di Sydney, salah satu pengajar training, Dr. Robbie Peters yang juga antropolog dan Director of Development Studies menawarkan untuk melanjutkan S3 di bawah bimbingan beliau. Lagi-lagi pilihan datang dengan mudahnya, namun belum ada alasan kuat yang mengetuk hatiku bahwa tinggal di Sydney adalah mimpiku, aku ingin Eropa. Sebelum berangkat ke Sydney, aku coba juga masukkan aplikasi ke dua kampus di Belanda, University of Amsterdam dan Leiden University, kampusnya Snouck Hurgronje sang antropolog kondang yang pada akhir tahun 1800an dikirim pemerintah Kompeni untuk mencari cara menaklukkan Aceh.

Mungkin Tuhan mulai iba dengan ke-ngeyel-anku. Ketika di Sydney, University of Amsterdam mengirimkan email, namun tanpa ada lampiran dokumen apapun (belum ada LOA yang dilampirkan), dan hanya menyebutkan ada dua profesor (antropolog dan Indonesianis senior Gerry van Klinken dan Laurens Bakker, salah satu antropolog muda yang banyak meneliti isu Ormas Indonesia) tertarik dengan proposalku. Mereka meminta diagendakan wawancara via Skype untuk melakukan eksplorasi lebih jauh dan memastikan bahwa aku adalah kandidat seperti yang mereka harapkan. Tanpa pikir panjang, kusanggupi, dan dijadwalkan wawancara beberapa hari kemudian setelah kembali ke Jakarta.

Setelah kembali ke Jakarta dan wawancara via Skype dilakukan, sehari kemudian hasilnya sudah dikirimkan via email, Profesor Gerry menyatakan kurang tertarik dengan proposalku, namun Dr. Laurens tertarik dengan beberapa catatan. Pertama, harus mencari seorang profesor pengganti Prof. Gerry yang benar-benar memiliki keahlian sesuai dengan proposal itu dan bersedia menjadi promotor. Kedua, proposal tersebut tetap bisa dipakai namun harus disesuaikan dengan group project Moving Matters (MoMat) yang beliau koordinir, dan ini artinya aku harus merombak total proposal sebelumnya. Ketiga, setelah revisi proposal dikirim harus melalui proses review dan dijadwalkan wawancara via Skype lagi dengan profesor pengganti yang bersedia. Keempat, semua proses pendaftaran tetap harus paralel dengan admission office di universitas, dan tetap harus memenuhi syarat official score IELTS yang lagi-lagi minta minimal 7 saudara-saudara.

Dari keempat syarat tersebut, yang benar-benar sepenuhnya bisa kuoptimalkan hanya poin kedua, merevisi proposal yang kukerjakan tiga malam lembur menginap di kantor. Syarat pertama dan ketiga di luar jangkauanku sehingga hanya doa yang bisa kulakukan. Untuk syarat terakhir, aku langsung menjelaskan kondisinya dan langsung mengajukan waiver. Dalam hatiku, sudahlah, Duh Gusti, monggo kerso, inyong pasrah. Jawaban yang aku dapatkan dari pihak admission office pun hanya sedikit harapan, karena mereka berjanji akan langsung membahasnya di the board of the research school bersama Dr. Laurens dan Profesor Dennis yang akan menjadi calon promotor. Tebak hasilnya! Setelah menunggu beberapa hari, di hari-hari terakhir deadline penyerahan LOA ke LPDP (atau beasiswa hangus jika setelah jatuh tempo satu tahun gagal mendapatkannya), LOA unconditional itu terbit dari University of Amsterdam tanpa harus wawancara lagi, tanpa diminta skor IELTS lagi. Apakah ini ajaib? Bukan! Ini mungkin rumus welas asih Tuhan pada orang yang ngeyel memegang janjinya.

Dengan proses ini, di satu sisi aku paham sekali tentang batasan, tentang hambatan, tentang kekurangan yang semua orang, tanpa terkecuali, pasti memilikinya. Tetapi di sisi lain, aku juga mencoba memahami tentang potensi yang Tuhan juga berikan kepada siapapun, potensi untuk memilih membuka atau menutup jendela mimpinya, di bidang apapun itu. Karena luasnya cakrawala dan sejuknya semilir angin di luar rumah hanya bisa kita saksikan dan rasakan manakala jendela rumah itu kita buka. Bukan tanpa resiko, sebagaimana angin yang masuk ke rumah melalui jendela itu bisa menyebabkan masuk angin dan masuknya serangga. Bahkan jika kita memiliki sebuah cangkir indah pemberian orang yang sangat kita sayangi, dan tanpa disengaja cangkir itu jatuh hancur berkeping-keping, kita masih memiliki paling tidak dua pilihan, membuangnya atau menyambung dan merangkainya kembali. Belajar dari filosofi Kintsugi orang Jepang, serpihan cangkir itu bisa kita rangkai dan sambung kembali dengan emas yang kita cairkan sebagai bahan perekatnya, dan hasilnya bisa kita bayangkan sendiri, bukan hanya fungsi awalnya yang kita kembalikan, tetapi juga nilai estetik dan value baru yang kita dapatkan.

“Sekolah itu jendela dunia, dan janji itu engselnya, ketika kita rajin membukanya, ia akan setia membisikkan tiga kata di telinga kita, yaitu: mimpi itu nyata!” – Ahmad Karim.

 

Baca juga:

Kisah Ahmad Karim: Perjuangan Bocah Nggunung Meraih Beasiswa S2 dan Menjadi Lulusan Terbaik di Indiana University, Amerika Serikat

Advertisements
google.com, pub-3699623534636543, DIRECT, f08c47fec0942fa0