Seringkali kita diajarkan oleh Bapak dan Ibu Guru pendidik mengenai sebuah cita-cita. Mereka seringkali memberikan gambaran tentang bagaimana, konsep cita-cita yang sederhana, sebuah nilai yang dapat dicapai di masa yang akan datang. Mulai berkaitan dengan passion, hobi, kegemaran, dan lain sebagainya. Di mana dari hal-hal tersebut memunculkan berbagai tujuan, motivasi, mimpi, dan harapan. Sebuah penanaman nilai, dan identitas yang dapat dikenali oleh semua orang.

Apa yang diajarkan oleh lembaga pendidikan maupun lingkungan memberikan pengenalan-pengenalan terhadap dunia yang begitu luas, juga berbagai dimensi-dimensi yang ada di dalamnya. Sebuah cita-cita dapat memberikan motivasi untuk membentuk identitas diri, memotivasi tindakan seseorang berdasarkan apa yang ia suka. Masyarakat Indonesia belajar tidak hanya pada sekolah saja, namun lingkungan, media massa menjadi pelengkap dalam membentuk kerangka berpikir, pengalaman, dan pemahaman.

Mengenali identitas diri, tentunya harus ada pandangan pemikiran yang dapat dijadikan rujukan, seperti pemikiran Afthonul Afif, yang memberikan elaborasi tentang teori identitas sosial. Dalam penjelasan mengenai identitas/konsep diri, terdapat dua hal yang dapat dikenali pada diri seseorang, pertama identitas sosial, yakni identitas yang menampilkan diri seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok. Kedua, yakni identitas personal, di mana terbentuk atas dasar seleksi diri pemahaman (self understanding),terhadap pengetahuan dan pemahaman dunia luar. Jadi apabila ada seseorang bertindak sesuatu itu pasti akan berpengaruh terhadap kelompoknya. Setiap tindakan merepresentasikan nilai-nilai yang ia pahami. Atmosfir seperti inilah yang kemudian ada di masyarakat. Sehingga perlu kecermatan, dan kehati-hatian bahwa setiap tindakan seseorang berdampak juga pada kelompoknya.

Setiap orang sebagai mahluk sosial selalu berkumpul, dan bergaul untuk bertahan hidup. Dalam proses pencarian konsep identitas diri ini, kadang setiap orang melalui jalur yang berbeda, cara yang berbeda pula. Mereka memiliki kecenderungan berkelompok karena ada kesamaan, yang menjadi sebab kesamaan adalah ada kepentingan, kesukaan, atau bahkan merujuk pada permasalahan yang sama (masalah seperti keadilan, ketimpangan, ketertaikan (pengaruh), dan lain sebagainya.

Muncul kemudian sebuah fenomena homogenitas. Terjadinya fenomena ini dilatar belakangi karena ada relasi masyarakat yang membaur dan bergaul. Homogenitas muncul pada sebuah kelompok, yang menjadikan sebuah atribut dan pengotak-ngotakan golongan, kelompok yang beraneka ragam. Baik dilihat dari kriteria Suku, Ras, Bangsa, dan Kelompok dengan ciri khasnya masing-masing. Sehingga ada istilah ke-kita-an (di dalam kelompok/in group), kemudian mereka (di luar kelompok/out group). Hal ini menjadikan bias-bias dalam kelompok yang mengarahkan individu untuk saling menonjolkan diri dengan ciri dan sifatnya masing-masing.

Tidak menampik kemungkinan bahwa masa kini sering terjadi persaingan antar kelompok/ organisasi/ komunitas. Ketika persaingan muncul memberikan banyak pengaruh dan dampak yang dapat kita cermati bersama. Ada yang bernilai positif ada pula yang bernilai negatif. Namun kecenderungan yang terjadi, menimbulkan dampak yang negatif (buruk). Fakta-fakta di lapangan kentara sekali menunjukkan situasi seperti ini. Ambillah contoh seperti sepak bola, dari satu bidang olahraga ini ada persaingan yang sehat dan tidak sehat, namun yang sering muncul pada pemberitaan media Indonesia (konvensional maupun online) adalah persaingan antar supporter yang menjurus pada tindak kriminal berbau SARA dan kerusuhan. Banyak nyanyian SARA berbau merendahkan bahkan umpatan terjadi di pertandingan. Balas-membalas nyanyian SARA menjurus perpecahan, dan stigma merendahkan kelompok lain sering terjadi.

Melihat supporter sepak bola tentunya juga tidak lepas dari atribut yang dipakai dalam mendukung tim kebanggaan mereka. Persaingan dengan menonjolkan identitas masing-masing itu sah-sah saja, dan diperbolehkan. Namun jangan sampai menjatuhkan orang lain untuk menunjukkan eksistensinya. Bukankah olahraga kemudian menjadi sebuah kegiatan yang suportif (kalah menag hal wajar, yang terpenting persaudaraan). Seperti sebuah pertandingan dalam olahraga, berkelompok pun harus ada respect dan suportifitasnya. Persaingan dengan cara sehat, baik secara metode maupun visi-misinya, sehingga kemudian dapat dimunculkan sosok kelompok yang mampu menonjolkan diri dengan membuktikan kualitas-kapasitas diri dengan kemampuan yang dimiliki, bukan secara rendah menjatuhkan orang lain, menampilkan tindakan yang tidak berfaedah menampilkankeburukan orang lain. Jadi bisa fokus pada kelompok sendiri menampilkan dukungan dengan koreografi dan pertunjukan yang menarik (inilah kualitas), analogi-analogi seperti ini pun juga sama bisa diterapkan dibidang lain tidak hanya pada olahraga, namun politik, budaya, pendidikan, pekerjaan, hobi juga.

Namun tidak semuanya menjurus pada persaingan, konflik yang tidak sehat. Kuncinya adalah dalam individu itu sendiri, apabila masyarakat mau berpikir secara terbuka, dan mengedepankan kolektivitasnya, pasti akan selalu ada solusi disetiap konflik yang terjadi, bahkan bisa menampilkan persaingan yang sehat melalui kemampuan masing-masing. Jadi jangan sampai muncul istilah kelompok atau bagian anggota kelompok yang menempatkan dirinya dalam perpecahan, dan berkecenderungan kaum sumbu pendek, sekali terjadi pergesekan meledak (resepon yang berlebihan, mengesampingkan pemikiran jangka panjang). Menjadi kelompok yang begitu reaktif terhadap permasalahan. Perlu kesadaran yang tinggi bahwa manusia sebagai mahluk itu tempatnya salah, dan tidak ada yang sempurna.

Siapapun kita, apapun pekerjaan kita, apapun kelompok kita, harus paham bahwa kita memiliki kesamaan yang sama. Kesamaan yang menjadi cita-cita luhur yang diajarkan secara turun-menurun dari para pendiri bangsa, guru pendidik, hingga lingkungan kita sendiri. Ada kesadaran sosial yang diturunkan kepada kita melalui Pancasila. Dengan membawa atribut yang berbeda-beda kita harus tahu bahwa ada kesadaran cita-cita yang agung dalam Pancasila, yakni mencerminkan Identitas Karakter Bangsa Indonesia. Perbedaan dengan pluralisme, keanekaragaman budaya bukanlah faktor penghambat, melainkan adalah kekayaan yang harus kita kelola, aset karakter bangsa yang harus kita tanamkan juga pada anak, dan cucu kita. Sebuah rasa cinta yang berbalut nasionalisme, “bhineka tunggal ika” (berbeda-beda tapi tetap sama).

Jangan sampai kemudian muncul krisis identitas, karena memperbandingkan kelebihan dan kekurangan kelompok sendiri dengan kelompok lain, semuanya mempunyai nilainya masing-masing, dengan tolak ukur yang berbeda pula. Tujuan persaingan yang sehat membentuk karakter bangsa yang kuat. Kita perlu sekali mawas diri dengan filosofi jawa “Nglorok tanpa bolo, menang tanpa ngasorake” yang artinya manusia hidup jangan sampai menyombongkan diri, memberikan anggapan bahwa kelompoknya sendiri lebih baik dibanding yang lain, bersaing boleh tapi dengan cara yang baik, tidak merendahkan, dan tidak melakukan kecurangan.

Perlu dibuang jauh-jauh pemikiran-pemikiran negatif, tindak kejahatan, hingga ketidakpercayaan diri. Permasalahan utama, sebenarnya bukan pada konflik yang terjadi, melainkan pada cerminan diri kita sendiri, individu-individu yang belum secara penuh memahami identitas-identitas dirinya. Inilah krisis identitas tersebut. Tindakan yang belum paham bahwa, bermasyarakat, berkelompok-kelompok dalam Indonesia itu saling beririsan, dan cakupan irisan yang paling besar adalah menjadi bangsa Indonesia.

Penulis: Aji Muhammad Said

Advertisements
google.com, pub-3699623534636543, DIRECT, f08c47fec0942fa0