WM Ngangsu Kawruh kembali lagi dengan tema Wonosobo Jaman Dulu dan Sekarang. Kali ini disampaikan oleh Mas Erwin Abdillah, yang merupakan wartawan Wonosobo Ekspress.

Asal Kata Wonosobo

Akar kata Wonosobo memang berkaitan dengan bahasa Sanskreta maupun bahasa jawa kuno (kawi). Ada sedikit perbedaan di konteks katanya, tapi secara garis besar merujuk ke makna yang kurang lebih sama yaitu WANA dan SABA. Ada beberapa variasi asal muasal kata Wonosobo, yaitu Vana-Sabha, Wanasaba, WanuaSaba, WanuSeba.

Vana sendiri di beberapa kitab hindu maupun epos2 india diartikan sebagai hutan, namun ketika dikaitkan ke Wanua, ada yang mengarah ke Alas (bisa berarti lahan untuk bernaung atau bercocok tanam. Sedangkan kata Saba atau Sabha artinya memang ada kaitanya dengan sobo di bahasa Jawa yakni perjumpaan. Secara lebih halus/tinggi, artinya bisa sebuah perkumpulan untuk tujuan yang baik seperti belajar atau perundingan. Kata itu kerap ada di konteks “Darmasala” yang artinya tempat belajar. Contoh Darmasala kuno ada di komplek candi Dieng dan yang terbaru ditemukan ada di Liyangan. Kata atau gabungan kata Wonosobo memang belum ditemukan di prasasti (manapun) tapi secara geografis, Wonosobo kerap dikaitkan dengan kawasan di lereng gunung Sundoro dan Sumbing. Fakta dari beberapa prasasti juga menyebut bahwa Wonosobo-Temanggung dulunya adalah satu wilayah.

Penjelajahan Wonosobo – Temanggung

Mas Erwin sempat menjelajahi wilayah Wonosobo dan Temanggung. Di setiap titik yang tertera di peta terdapat reruntuhan bangunan yang kemungkinan besar adalah candi. Yang menarik adalah: semua bangunan candi atau istilahnya KAMULAN, cenderung mengarah ke Sindoro. Untuk memahami konteks geografis itu, maka kita kembali ke era di mana belum ada taman2, bahkan belum ada slogan The Soul of Java.

Dari peta yang Mas Erwin buat (lewat studi lapangan) ada kesimpulan menarik, bahwa jumlah bangunan candi di kawasan dieng, wonosobo hingga temanggung bahkan lebih banyak dari kawasan Jogja-Solo, sehingga ada Hipotesis bahwa dahulu pusat kota/keramaian dan pemerintahan bukanlah di Mataram modern atau Yogya yang sekarang ini, tapi kemungkinan besar di kawasan sekitar Sindoro atau SUSUNDARA (nama dari prasasti tahun 907).

 

Wonosobo, Titik Tengah Pulau Jawa

Kesimpulan sederhananya adalah: Wonosobo dahulu jadi ibu kota kerajaan Medang yang luasnya seperti Jawa tengah+ Jawa Timur + Bali modern. Secara geografis, wilayah seperti Jakarta dan Semarang memang sejak dulu rawan bencana. karena ada bukti sejarah bahwa sebagian besar wilayah Jawa Barat dahulu terendam air (dari keterangan Romo Manu – Filolog), sehingga daerah paling stabil dari bencana di era itu bisa jadi adalah Wonosobo. dan tidak mengagetkan bahwa secara empiris, TITI paling Tengah pulau Jawa adalah Mojotengah. Kalau secara asal Madya Tengah (madya=tengah. Tengah= tengah). Itu sudah dinamai katanya sejak zaman majapahit atau sebelumnya. jadi kita patut curiga kalau orang di era tahun 900 sudah punya GPS, gugel map, dan juga internet.

Di catatan Mas Erwin, dulu ada seorang raja bernama Dyah Balitung yang menikahi anaknya Rakai Watuhumalang (dari Watumalang). Lalu jadi raja tahun 898, Sejak itu dia bangun banyak infrastruktur yang kaitannya dengan peribadatan dan mata air sampai tercatat di 37 prasasti, selama menjabat 10 tahun. Bisa dibayangkan bahwa Raja di zaman dulu juga butuh pencatatan. Jumlah candi yang dibangun dia mungkin lebih banyak lagi.

Sumber Daya Alam Wonosobo di Masa Lalu

Setelah didatangi satu per satu, ternyata di dekat candi itu pasti ada mata air besar dan harusnya ada kolam raksasa. Nah faktanya, di dekat candi2 seperti Bongkotan ada kolam renang TRAJON. Di daerah TRAJI (temanggung) ada kolam renang TLOYO. Itu semua ada bangunan candi. Maka kesimpulan Mas Erwin dan tim, visi raja tahun 900 sudah konsen ke air, yang ternyata sekarang makin buruk. terbukti di lereng sindoro (Kertek) banyak yang sudah kekurangan air, bahkan di Kledung dan Reco, air makin susah.
Singkatnya, di era itu, raja sudah curiga air akan jadi masalah besar dan di jaga betul2. Pada 904 M memerintahkan agar Sang Hyang Dharma Bihara di Jawa semuanya dijadikan Swatantra agar tidak lagi kena denda (pajak). Kelestarian sumber air dan pertanian bertahta di Yawapura atau Poh Pitu. Jadi dengan membebaskan pajak di area2 mata air dan membuat candi, maka warga berkewajiban menjaga sekaligus mengembangkan pertanian. Anehnya, Wonosobo saat ini: Anak2 petani sudah tidak (mau) jadi petani. Padahal kita makan dari pertanian lho. Lalu mengenai Yawapura atau Poh Pitu juga masih belum ditemukan di mana letak pastinya. kemungkinan besar di Wonosobo atau Temanggung.

Ada juga sejarah Wonosobo saat hidangan saat perayaan/pesta. Lewat makanan itu, dengan gampang kita bisa melihat bahwa dahulu jenis ikan apa saja yang dibudidayakan, lalu hewan berkaki 4 yang diternak sampai jenis sayuran, ubi, hingga beras.
Nah, Wonosobo sekarang masih sama tidak makanannya? Apakah menanam sendiri semua atau ada yang harus beli di daerah lain?

Menurut Mas Erwin, kita harus mulai berpikir bahwa manusia modern yang kita yakini lebh maju, sebenarnya sama saja. Kita masih rentan terkena bencana alam, kekurangan air, hingga masalah bahan makanan yang asalnya dari pertanian. Lalu merembet ke masalah Kesejahteraan, belum lagi ke Edukasi. dengan fakta bahwa 37 prasasti ditulis dalam 10 tahun, artinya kebudayaan tulis sudah sangat maju, belum lagi dari arsitektur. Bahkan ada fakta bahwa Wonosobo menjadi pusat pengembangan literasi (di kawasan Rakai Garung), terbukti adanya Darmasala di Dieng (sekarang di Unsiq). Itu mungkin refleksi untuk kita, yang merasa bahwa Wonosobo itu ndeso, jauh dari kota, pelosok, padahal sejak dulu kita adalah orang2 yang memulai peradaban.

 

Sesi Tanya-Jawab

Menurut Mas Erwin, setelah mempelajari sejarah Wonosobo ini, apa sih yg harus kita perjuangkan sbgai anak muda dan organisasi kepemudaan?

Jadi kalau kita tahu sejarah Wonosobo yang sebenarnya pusatnya peradaban Jawa/Nusantara, maka kita harusnya tidak minder di manapun, tapi kita butuh belajar dulu, apa si sebenarnya yang dibutuhkan tanah ini. Karena terus terang Mas Erwin agak kaget ketika banyak orang2 yg sukses mengartikan kontribusi adalah MATERI/uang. Misalnya yang paling sederhana saja, banyak loh teman2 yang jadi dosen dan keren di luar sana. Tapi ketika dimintai tolong untuk ngisi acara sebentar, sangat susah apalagi mereka rata2 skeptis dengan kondisi Wonosobo. Yang paling simpel adalah: Kembali ke sini dan mengingatkan pemudanya bahwa kita punya Gen inovator dan pembangun peradaban. masalahnya kita hanya dibikin lupa atau tidak mau belajar.

 

Apa  hal yang bisa mendorong pemuda daerah biar bisa kembali, meski ga kembali secara fisik, tp paling tidak kembali pikiran, gagasan, bahkan kalau bisa materinya?

Sebenarnya untuk bisa sadar, kita butuh percaya dulu. Bahkan kalau kita ketemu orang Bromo/tengger dan orang Bali, mereka banyak yg mengakui bahwa leluhurnya dari Dieng. Masalahnya buktinya memang masih sedikit sekali. Nah alasan untuk kembali adalah, di manapun mereka tinggal, tetap saja Wonosobo jadi pusatnya khususnya pusat pulau Jawa. Kalau Sindoro besok kehilangan mata air, yang susah air bisa se-Jawa Tengah khususnya kawasan Purworejo sampai Jogja, bahkan pekalongan juga kena. Jajaran pegunungan yang menjadi “tulang PUNGGUNG” pulau jawa, pusatnya juga ada di Wonosobo, namanya pegunungan Kendeng/Keneng/Gendian/Beser. Kalau itu terganggu, seluruh pulau jawa terganggu airnya. Fakta itu sy baru dapat dari pak Eko Purnomowidi, ahli mitigasi bencana yg ngisi acara Java Coffee Fest di Dieng kemarin. Itu diakui orang2 Badui dan orang-orang Jawa Barat.

Soal pikiran, gagasan, bahkan kalau bisa materinya, sebenarnya bisa diwujudkan dengan membantu edukasi dan ekonomi di sini gamblangnya mungkin dengan mendirikan sekolah, membuat perusahaan yg menyerap tenaga kerja, memanfaatkan sumber daya alam.

Mas erwin kan katanya daerah sekitar mata air itu terus dibuat candi dan pusat peradaban. Terus bisanya mas menyimpulkan raja2 tadi berusaha melindungi air itu gimana?

Faktanya tidak semua raja melakukan itu. bahkan ada pola sekitar 6 pemerintahan raja sebelum balitung tidak melakukan itu
Beberapa catatan candi, terutama di lereng sindoro-sumbing, rata2 selesai dibangun atau mulai di bangun pada 800-an sampai 900 an masehi. Era yang paling mudah disimpulkan adalah era sejak rakai Garung berkuasa, rakai pikatan, rakai Watuhumalang, lalu rakai Dyah Balitung, tapi yang memerdekakan Tanah atau SWATANTRA hanya sedikit, seperti rakai Garung dan Balitung kalau teman2 ingat, bendera Wonosobo masih ada tulisan Swatantra.

Soal pelestarian air asumsi kita adalah asal usul Balitung yang berasal dari Purworejo. Daerah Watukura/Watukuro modern adalah salah satu kawasan Hilir sungai Bogowonto..
Ketika sumber air surut di atas maka Bogowonto akan kekurangan air. Dia sebagai orang kawasan bawah sangat rentan kekurangan air, sehingga dengan menikahi anak Watuhumalang yang kemungkinan adalah turunan Garung, dia bisa menjelajah sumber2 mata air itu. Didirikannya bangunan candi/Kamulan, membuat suatu konsekuensi, bahwa candi itu harus dibiayai negara, caranya dengan memerdekakan wilayah desa di dekatnya yang menghasilkan pertanian seperti mungkin beras dan berbagai jenis tumbuhan. Ketika candi terawat, otomatis, mata air di dekatnya terawat dan siklus ekonomi desa juga berputar Yang paling umum Zaman sekarang adalah makam2 para wali. Mereka sudah MENINGGAL lho, tapi bisa bikin orang yg hidup berpenghasilan, yakni dengan jualan di sekitar makam (contoh makam Gus Dur), makam2 wali songo. Nah makanya dulu ada ungkapan unik dari mantan bupati Kholiq Arif: kalau kita bangun makam, maka kita bisa membasmi PREMANISME. Awalnya Mas Erwin pikir itu asal dan tidak masuk akal. Bahkan dengan Gus Dur menemukan makam Syekh Kalilembu, Syekh Qutbudin dan lainnya, daerah itu minimal jalannya jadi bagus, lalu ekonominya jadi bagus, maka singkatnya religiusitas dan ekonomi dan pelestarian alam memang tidak bisa dipisahkan. Contoh modern: CANDI DIENG dan DCF dan penjual makanan mahal.

Terus menurut Mas Erwin, wali atau kyai siapa lagi yg makamnya bisa kita berdayakan? Soalnya wonosobo wisatanya cuma Dieng, kan bagus kalau banyak yg lainnya.

Sebenarnya sejak lama sedang digali teman2 budayawan. Salah satu yg menurut Mas Erwin menarik adalah Syekh Kalilembu.

Sekian episode Ngangsu Kawruh kali ini, semoga bermanfaat ya.

 

Materi diambil dari Erwin Abdillah di acara Ngangsu Kawruh, 6 Agustus 2019
Penyunting : Khafidlotun Muslikhah

 

Advertisements
google.com, pub-3699623534636543, DIRECT, f08c47fec0942fa0