Pengalaman pahit dalam hidup seseorang seringkali bisa menjadi titik balik untuk meraih kesuksesan dalam hidupnya. Ini terjadi di dalam kehidupan seorang Maizidah Salas, setelah jungkir balik menjadi seorang buruh migran (Tenaga Kerja Indonesia-red) akhirnya beliau bisa memberdayakan buruh migran lainnya di Kabupaten Wonosobo. Beberapa waktu lalu, tim Wonosobo Muda berhasil mewawancarai beliau secara langsung, selamat menyimak kawan muda!

Kisah beliau berawal dari pelecehan seksual yang dialami pada saat masih duduk di bangku SMA, ia kemudian berhenti sekolah, dan harus menikah dengan orang yang tak dicintainya. Kehidupan rumah tangganya tak berjalan baik, ekonomi yang sulit, bahkan pengalaman kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pernah dialaminya. Kondisi ini yang membuatnya harus memutar otak untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan berbekal pendidikan dan pengalaman yang minim akhirnya ia memutuskan untuk bekerja sebagai buruh migran. Selama satu tahun ia bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga di Korea. Malangnya, dalam kurun waktu ini, suaminya yang ditinggal di Indonesia telah menghamili perempuan lain. Keadaan ini akhirnya membuat mereka pun bercerai dan pada saat itulah ia mulai merasa jadi perempuan yang merdeka, merdeka dari cengkeraman kekejaman suami, dan pikiran-pikiran buruk tentang itu.

Setelah pulang ke Indonesia, beliau bingung karena di Indonesia sulit mencari pekerjaan layak dengan modal ijazah rendah. Mau tak mau, ia pergi ke Taiwan untuk menjadi buruh migran lagi. Ia dijanjikan oleh pihak penyalur untuk bekerja di sektor Industri, namun malangnya ia tertipu. Bahkan, uang hasil penjualan tanah milik ayahnya pun raib. Karena tidak berani pulang dan tidak berani memberi kabar ke orang tua, akhirnya ia terpaksa menjadi buruh migran (TKI) illegal. Hal ini pun diperparah dengan berbagai perlakuan dari pihak agensi yang menurutnya bisa dikatakan jauh dari menjunjung tinggi nilai Hak Anak Manusia. Ia juga menambahkan, salah satu alasan mengapa banyak buruh migran yang disiksa oleh majikan, dikarenakan pelatihan pada saat berada di agensi berbeda dengan di lapangan, sehingga para majikan merasa rugi sudah memberi gaji tapi tak sepadan dengan kinerja.

Dari pengalaman – pengalamannya, seperti menjadi TKI ilegal, berjuang hingga pernah tidur di sawah, bertemu dengan rekan sesama buruh migran yang senasib, inilah yang kemudian mendorongnya untuk membentuk suatu komunitas. Komunitas ini dibentuk untuk bisa melindungi dan memberi arahan bagi buruh migran, agar tidak bernasib sama dengan dirinya. Akhirnya terbentuklah SPMW (Solidaritas Perempuan Migran Wonosobo) yang meski penuh dengan hambatan, seperti tidak adanya payung hukum yang menaungi komunitas ini. Hal ini mengakibatkan buruh migran yang bermasalah masih kesulitan mendapatkan bantuan secara hukum. Lalu ia pun berinisiatif mengikuti beberapa training dan studi banding ke komunitas yang bernafas sama, untuk semakin mengokohkan komunitas yang ia buat. Komunitas tersebut pun akhirnya melebur menjadi bagian dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

Pada tahun 2012 di desa beliau, Tracap, kecamatan Kaliwiro,  diresmikanlah sebagai kampung TKI (buruh migran-red), kampung yang dinilai cukup mempunyai integritas, karena ada beberapa kegiatan yang sudah dilakukan di sini. Ia pun tidak hanya memberdayakan buruh migran di desa tersebut, namun juga mengorganisasi hingga seluruh kabupaten Wonosobo. Kurang lebih sekitar 31 kelompok di 3 kecamatan dan itu semua adalah buruh migran yang pernah mengalami masalah, dan korban trafficking.

Melalui Kampung TKI tersebut, ia memfasilitasi buruh migran dengan banyak pelatihan, membentuk kelompok  untuk pemberdayaan ekonomi, seperti peternakan kambing, koperasi sembako, pisang cavendish, dan sebentar lagi bahkan akan mendirikan pertanian jamur tiram sampai kepada pengemasan keripik itu sendiri. Selain itu, mereka juga memiliki PAUD untuk anak-anak buruh migran. Untuk PAUD tersebut ia dirikan berdasarkan pengalamannya pergi ke Korea, anaknya pada waktu itu masih usia dini, dan kurang mendapatkan pendidikan usia dini yang layak. Hebatnya, semua sektor pemberdayaan tersebut menggunakan sistem bagi hasil, di mana kepemilikannya merupakan kepemilikan bersama, dan hasilnya juga dinikmati secara bersama-sama. Selain itu, hasil usaha tersebut juga disisihkan untuk biaya sekolah PAUD, sehingga sampai sekarang PAUD tersebut masih gratis atau bebas biaya.

Atas kerja kerasnya tersebut, ia mendapatkan predikat “Kartini Masa Kini” dari Kick Andy. Tak cukup itu, ia juga mendapatkan penghargaan dari dari UKM Centre Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan penghargaan dari Yahoo.com untuk kategori pendidikan atas upayanya untuk peduli pendidikan  anak anak TKI di usia dini. Saat ini sudah ada 5 stasiun TV Indonesia yang telah membuat profil desa ini, adapun orang-orang dari 11 negara berkunjung ke Desa Tracap sambil membuat film dokumenter. Dan juga desa ini menjadi objek penelitian oleh beberapa universitas ternama di Indonesia.

Kemauannya untuk belajar tak cukup sampai di situ. Karena pendidikannya yang rendah, ia berjuang agar bisa mengikuti ujian Paket C, dan akhirnya lulus. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswi program studi S1 Hukum Perdata di Universitas Bung Karno yang sedang menyelesaikan skripsinya. Bahkan, ia mengaku mendapat tawaran S2 gratis ke Jerman atau Belanda untuk hukum perburuhan internasional dan juga menjadi staf Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun, ia masih memikirkan ulang hal tersebut. Ia tak bermaksud menolak belajar atau menolak pekerjaan. Namun, ia merasa bahwa perjuangannya di sini tidak bisa begitu saja ditinggalkan. Ia masih memiliki mimpi mempunyai sekolah dengan biaya murah dan pemberdayaan ekonomi yang ia lakukan dapat menjadi semakin besar.

“Saya inginnya terus membangun SDM untuk teman-teman Wonosobo. Bukan hanya untuk para buruh migran saja. Saya sangat senang teman-teman sampai membuat organisasi pemuda di Wonosobo. Karena yang akan memegang dan menjadikan negeri seperti apa kan anak anak muda. Ke depan kita punya wacana anak-anak muda di sini tidak perlu ke luar daerah atau ke luar negeri, tapi kita bangun daerah sendiri, dengan kemampuan kita sendiri, dengan ide kita masing masing, dengan cara kita sendiri. Yang bisa mengangkat nama keluarga dan daerahnya, syukur sampai mancanegara.“ – Maizidah Salas.

Terakhir beliau berpesan untuk generasi muda di Wonosobo, kalau ingin mengadakan perubahan , kita harus melakukan sesuatu untuk perubahan itu sendiri. Selain itu, belajar tidak harus di sekolah saja, tidak cukup di sekolah, tetapi belajarlah tentang apa saja, dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja, jangan pernah bosan untuk belajar. Perubahan kalau bukan dari diri kita yang peduli lalu dari siapa lagi. Sebuah pesan yang cukup mendalam bagi kita generasi muda Wonosobo, bukan begitu? (Fix &Jo)

 

Advertisements
google.com, pub-3699623534636543, DIRECT, f08c47fec0942fa0