Dalam sebuah diskusi informal dengan beberapa rekan di sebuah kampung kecil di pelosok daerah Jawa Tengah, tanpa sengaja terlontar sebuah celetukan yang ternyata menjadi topik pembicaraan kami malam itu. Sebuah pemikiran yang tak pernah saya duga sebelumnya. Remaja kampung yang notabene berbeda jauh secara kualitas pengetahuan maupun cara berpikirnya dengan kalangan terdidik di perkotaan, ternyata mulai gundah dengan tema “globalisasi” yang saat ini sangat santer terdengar gaungnya.

Indonesia sebagai negara terbesar ketiga dan salah satu jajaran negara berkembang yang mempunyai potensi sangat besar baik dari sisi sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya pun tak luput dari gelombang besar globalisasi. Dalam kicauan di akun twitter pribadinya, yang selanjutnya dijadikan sebuah buku, Handry Satriago menganalogikan jika sekarang manusia tidak lagi hidup di 193 kapal-kapal yang berbeda yang berlayar di samudera. Saat ini, kita semua hidup didalam sebuah kapal besar, dengan 193 kabin yang sedang berlayar di lautan yang ganas tanpa adanya kapten yang bisa menahkodai kapal tersebut ditambah kondisi yang sangat turbulen dan tak menentu. Angka 193 menggambarkan jumlah negara di dunia saat ini, sedangkan kapal yang besar adalah sebuah wujud representasi dari dunia ini yang mempunyai banyak kabin-kabin.

Kishore Mahbubani mengatakan bahwa globalisasi telah menghasilkan suatu tatanan peradaban yang baru. Di Indonesia – atau bahkan di negara-negara berkembang lainnya – globalisasi ditandai dengan derasnya arus urbanisasi di suatu negara. Beberapa kota di Indonesia tampaknya akan segera menjadi kota metropolitan baru, diawali dengan banyaknya infrastruktur komersial yang mulai dibangun dan tumbuhnya kaum middle class yang sebanding dengan tingkat konsumsi serta gaya hidupnya. Menurut hemat saya, dalam menghadapi hal ini, setiap kota dan daerah di Indonesia harus tetap bertahan dengan budaya serta kearifan lokalnya. Disamping itu, setiap warga masyarakatnya – dalam hal ini khususnya generasi muda – harus selalu berpikiran terbuka. Menjaga tradisi serta kearifan lama yang baik, namun juga mengambil tradisi maupun kebiasaan baru yang lebih baik dan mengarah kepada hal-hal positif tentunya. Berbagai peran anak muda seperti melakukan perubahan, inovasi dan penguatan jatidiri sangatlah penting. Hal ini sangat beralasan karena jika tidak, kita hanya akan menjadi followers dan akhirnya menjadi pasar bagi sebuah abstraksi didepan mata yang bernama globalisasi.

globalisasi

Berbicara mengenai globalisasi, tentunya tak bisa dilepaskan dari berbagai macam aspek dan sarana pendukungnya. Salah satu pilar penting yang memainkan peran dalam suksesnya gobalisasi adalah teknologi informasi. Teknologi informasi mempunyi beberapa turunan seperti salah satu diantaranya adalah internet. Akses Internet yang sekitar 15 tahun lalu masih merupakan barang langka kini sudah ada di hampir setiap rumah, khususnya perkotaan. Sebuah transformasi positif bagi peradaban manusia yang terus dituntut untuk selalu melakukan perubahan.

Internet memainkan peran sentral dalam membentuk perilaku masyrakat modern saat ini. Beberapa manfaat bisa dipetik dari kemudahan aksesnya, seperti bisa dengan cepat memperoleh berbagai macam informasi di belahan bumi lainnya tanpa harus bersusah payah berpindah tempat. Namun, tak jarang pula menyisakan berbagai macam masalah bila kita tidak bijak dan proporsional dalam memanfaatkannya. Dengan kata lain, internet sudah menjadi barang kebutuhan pokok atau komoditi primer bagi masyarakat modern. Karena tanpa disadari, dan banyak dari kita yang meyakini bahwa hidup tanpa akses internet adalah sebuah bencana. Walaupun tidak semuanya sepakat mengenai hal ini – terutama generasi-generasi tua yang sudah lahir lama sebelum kita – sebagai generasi yang dilahirkan di era 90an (termasuk Gen Y) kita semua tak bisa menolak itu.

Ada sebuah lelucon yang pernah saya dapatkan dari seoarang rekan, bahwa sekarang kebutuhan akan akses internet merupakan sebuah hal yang sangat fundamental. Bahkan sampai menggugurkan Hierarchy of Needs atau teori hirarki kebutuhannya Abraham Maslow. Teori ini menggambarkan sebuah piramida yang menunjukkan tingkatan-tingkatan kebutuhan kita. Menempati posisi paling bawah adalah Physiological Needs atau kebutuhan fisiologis. Kebutuhan primer seorang manusia adalah bernafas, makan minum, tidur, sex, dll. Namun, mengacu pada konteks kekinian, tampaknya teori tersebut bisa dimentahkan karena internet lebih diprioritaskan daripada harus memenuhi kebutuhan fisiologis terlebih dahulu.

Maka jangan heran jika saat ini pemuda-pemudi desa di pelosok lereng gunung Sindoro misalnya, bisa memahami dinamika politik paska Arab Spring di Timur Tengah dan sebagian Afrika sana. Atau seorang pelajar SMP yang tak pernah mendapatkan pelajaran sejarah secara utuh dan benar bisa melihat bentuk sisa-sisa Ottoman Empire di Istanbul, Turki. Dari berbagai fakta diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini arus informasi melaju sangat deras sekali dan tak akan pernah bisa dibendung. Hal ini tentunya merupakan sesuatu yang positif karena wawasan yang sempit akan semakin terkikis.

Namun disisi lain, ada sederet kegelisahan dan pergolakan yang dirasakan anak muda di daerah saat ini. Bagaimana bersikap proporsional terhadap hal ini? Bagaimana berparadigma global tanpa harus meninggalkan budaya lokal? dan pada akhirnya, bagaimana caranya bertahan diri atau bahkan bersaing agar tidak tergerus oleh arus globalisasi?

Beberapa pertanyaan yang sederhana, namun tidak mudah juga menemukan jawaban pasti untuk diimplemantasikan dalam kehidupan masyarakat di daerah tentunya. Bagaimanapun juga, tidak semua orang bisa diajak berpikir terbuka, apalagi karakter masyarakat di Indonesia yang beraneka ragam yang tersebar diberbagai daerah. Kondisi masyarakat yang heterogen dan majemuk merupakan tantangan bagi kita agen-agen perubahan agar bisa bersaing, atau minimal bertahan dari gempuran gelombang besar bernama globalisasi.

Berangkat dari pengalaman leluhur bangsa Indonesia yang pernah diperhitungkan oleh bangsa lain, tentunya merupakan sebuah modal berharga bagi kita saat ini untuk tidak minder bersaing ditingkat global. Seperti yang pernah tertuang dalam kitab kuno fenomenal pada jaman kerajaan Majapahit karangan Mpu Prapanca, yaitu Negarakertagama yang ditulis dan diterjemahkan ulang oleh ahli linguistik asal Bali Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U sehingga menjadi suatu karya sastra yang berjudul Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit (2009). Karya sastra yang menggambarkan kemegahan dan kejayaan Kerajaan Majapahit, sebuah kerajaan yang 700 tahun lalu sudah dikenal dunia luar amat gemilang sampai ke Pulau Madagaskar. Kerajaan Majapahit sebagai salah satu kerajaan terbesar di Nusantara. Majapahit jelas merupakan salah satu sumber utama jatidiri kita sebagai bangsa Indonesia, yang mempunyai harga diri dan martabat serta kehebatan yang telah diakui dunia.

Saya sendiri masih mempunyai keyakinan yang kuat bahwa anak-anak muda di Indonesia khususnya didaerah merupakan mesin penggerak roda perubahan bangsa. Anak muda yang selalu berani tampil berbeda, menyikapi perbedaan dengan bijak, mau terus belajar dan menambah wawasan baru serta sangat mencintai Indonesia. Untuk semua hal, sepertinya kita harus senantiasa belajar dan tak mudah berpuas diri. Begitupun diri saya sendiri yang selalu menyadari bahwa globalisasi tak hanya ancaman bagi yang tidak bersiap diri, tetapi bisa pula menjadi peluang bagi yang sudah mempersiapkan dirinya sedini mungkin. (Ananta Yoga)

Advertisements
google.com, pub-3699623534636543, DIRECT, f08c47fec0942fa0