Salah satu ciri dari cinta adalah rindu. Saat jatuh cinta, banyak alasan yang akan membuat rindu. Perasaan rindu ini bermacam-macam: ada kalanya Bahagia (dengan ‘b’ kapital-red.), ada kalanya gelisah, ada kalanya membabi buta tak karuan, dan, ada kalanya, tak terdefinisikan. Sering kali, kerinduan membawa pikiran kita melayang-layang, mengawang entah ke mana, membayangkan apa-apa, dan berakhir di titik kita tersenyum dengan khayalan kita, atau berakhir keresahan berbalut kekecewaan.

Ah, berbicara tentang rindu dan cinta selalu mengingatkanku pada masa-masa jatuh cinta ketika SMA. Beberapa dari kita mungkin punya ingatan mengenai jalan lurus dari arah Banjar yang pada akhirnya mentok di alun-alun. Juga sekat-sekat jalan kecil antara lapas dan perpusda. Gang-gang sekitaran toko buku Ratna. Tidak lupa Rita. Dan, pastinya, keramaian pasar yang selalu riuh lalu-lalang. Kalau kamu pernah jatuh cinta di kota ini, jalan-jalan atau tempat itu pasti menyimpan riak-riak kenanganmu.
Namun, kadang, jatuh cinta tak hanya kepada manusia. Bagiku, masa SMA di sana membuatku jatuh cinta pada beberapa sudut kota ini. Meskipun –yah!- sekarang sudah banyak berbeda, tapi kenangan-kenangan itu masih rapi tersimpan di tikungan-tikungan dan pojok jalan. Ya! Aku jatuh cinta pada kota kecil ini dan, itu yang pada akhirnya, menyeruakkan rinduku malam ini.
Kerinduan yang begitu lekat dan rasa cinta yang begitu dalam ini membuatku membayangkan bagaimana seharusnya aku hidup bersamanya. Ya … maksudku, bagaimana “hidup” bersama kota ini. Meskipun banyak hal baik terdengar dari kota ini, beberapa kabar tak enak juga muncul dari kota ini. Pasar yang tak kunjung usai, status kabupaten termiskin di Jawa Tengah, tempat wisata yang banyak tak terurus, kehidupan yang semakin tak nyaman; hal-hal itu membuatku semakin rindu … rindu terhadap kota ini.
Ah! Sepertinya, malam ini, kegelisahan menjadi warna rinduku pada tempat yang membuatku jatuh cinta. Semua hal yang masih aku geluti di ibu kota dan rasa menggebu-nggebu untuk terus melakukan ini-itu untuk kota kecil ini membuatku semakin jauh melayang pada lamunanku. Seharusnya, kota ini bisa lebih maju dan menyenangkan dari yang sekarang! Berbagai ide dan gagasan muncul. Berbagai dialog imajiner kubuat dalam alam pikirku. Namun –ya, itu hanya angan!- lamunan yang terus berkelebat di alam pikir saja. Pun saat, pada akhirnya, aku tuangkan lamunan ini pada tulisanku ini dan tulisan-tulisanku selanjutnya, sepertinya itu tak akan bisa membayar tuntas rindu dan cintaku pada kota kecil bernama Wonosobo ini.
Akhirnya, semua masih akan berakhir pada penghujung malam, gelas kopiku sudah kosong, kututup laptop dan kurebahkan badan. Ya, sekarang semuanya masih begini. Entah esok, saat ada jalan kembali. Sebuah pertanyaan menyelinap masuk ke dalam kepalaku dan mengakhiri hari ini, “Lalu, sampai kapan harus diam?”

(Depok, di penghujung Oktober 2019)

Penulis : Abdul Choliq

Penyunting : Agustinus Ari

Sumber Gambar : https://www.pexels.com/photo/time-lapse-photography-of-person-standing-near-train-2120010/

Advertisements
google.com, pub-3699623534636543, DIRECT, f08c47fec0942fa0