I have a tendency to please everybody.

Ya, selama ini, sepanjang perjalanan hidup saya saya selalu mengusahakan yang terbaik untuk semua orang. Menyenangkan orang lain. Ngalahan. “Iya”an. Manut-an. Sampai pada titik dimana saya pernah bertemu dengan orang yang berkata: “Ah lu mah iya-iya aja.”

Pertanyaannya, kenapa? Kenapa saya mau jungkir balik mengusahakan untuk menyenangkan orang? Diajak makan iya, diajak main iya, diajak kerja iya. Iya-iya-in aja terus baru nyesel kemudian. Kenapa? Apakah saya se-tidak-egois itu?

Jawabannya muncul berkat pertemuan saya yang entah bagaimana dengan sosok Brene Brown. Buku (juga videonya di TED yang terkenal itu) datang dimasa ketika kepercayaan diri saya baru saja rontok karena suatu hal. Sebut saja, saya baru saja menyelesaikan sesuatu dan ternyata hasilnya dianggap sebagai seseorang yang marjinal. Below-low-low average. Hasilnya? Ya itu tadi, saya jadi tidak percaya diri. Harga diri dan kepercayaan diri saya rontok. Pokoknya rontok-tok-tok. Susah payah baru saya kumpulkan lagi.

Lalu apa hubungannya antara keinginan saya untuk menyenangkan orang – Brene brown – dan kepercayaan diri saya yang baru saja rontok?

Jawabanya adalah perfection (atau mungkin imperfection?)

Saya sangat menyadari bahwa dalam beberapa aspek hidup saya, saya ini perfeksionis. Salah satunya di bidang pencapaian. Sejak dulu saya sudah menyadari bahwa perfeksionis adalah hal yang salah, karena jujur ya, jadi perfeksionis itu capek loh. Ketika berkenalan dengan Brene ini lah akhirnya saya sadar bahwa perfeksionis ini buruk karena kita selalu berpikir : “Apa yang akan orang pikir tentang saya?”. Saya baru menyadari bahwa hasrat saya menyenangkan orang lain adalah salah satu wujud dari perfeksionisme saya yang selalu ingin dianggap bagus oleh orang. Sekali lagi, terkadang menjadi sangat melelahkan.

Lalu apa kaitannya dengan harga diri? Ya karena saya baru mendapatkan judgement bahwa saya tidak perfect, bahwa orang menganggap saya bahkan dibawah standar, segala pertahanan saya dalam wujud sifat perfeksionisme itu mengeroyok saya ramai-ramai.

Anyway, di paragraf tepat di atas kalimat ini, apa kalian melihat ada yang salah?

Pertama,yang salah adalah (yang kemudian saya pelajari dari Brene) saya terlalu memperhatikan apa yang orang pikir tentang saya, bagaimana orang menganggap saya. Ketika berusaha menjadi sempurna, saya berharap bahwa orang tidak akan mengomentari saya tentang hal yang buruk, tidak menindas saya, tidak melemahkan saya. Dan justru, sikap membentengi diri inilah yang mendesak saya dan mengerdilkan saya.

Kedua, tendensi orang melihat bahwa hasil yang salah adalah karena orangnya salah. Pernah, ketika salah seorang petinggi menanyai saya apa yang saya harapkan, saya berkata bahwa saya ingin orang  berkata pada saya bahwa : “You are enough, you are decent to belong here”. 

Apakah semua orang mengerti? No. Petinggi yang saya ajak bicara pun kebingungan dengan perkataan saya. Karena semua selalu berharap untuk menjadi extraordinary. Lalu kenapa saya ingin sekedar cukup?

Karena dengan mencukupkan diri saya, tiap kali menghadapi situasi dimana saya tidak bisa mencapai apa yang saya harapkan, yang akan saya salahkan adalah langkah atau cara saya dalam menyelesaikannya. Tanpa rasa mencukupkan diri, saya akan terus berkata saya tidak bisa mencapainya karena ada yang salah dengan diri saya. Bandingkan ini:

“I do something wrong”

“I am wrong”

Kalimat pertama, mengingatkan saya bahwa hasil yang salah karena cara yang saya lakukan salah. Implikasinya, saya bisa mencari cara lain untuk melakukannya dengan benar.  Kalimat kedua, meningatkan bahwa saya salah.Titik, tidak ada lagi cara memperbaikinya.

Mungkin, tidak semua merasakan hal seperti saya. Tapi bagi siapapun, yang suatu hari membaca tulisan ini, tolong ingat, bahwa siapapun kamu, apapun yang telah selesai kamu buat hari ini dan belum selesai kamu buat hari ini tidak masalah untuk menjadi tidak sempurna. Mengutip kata-kata favorit saya dari Brene : “You are imperfect, you are wired for struggle, but you are worthy of love and belonging.”

So liberating yourself from the urgency to be perfect. Because nobody’s perfect and that is what make us human. 

Agnestesia Putri Aryani

Advertisements
google.com, pub-3699623534636543, DIRECT, f08c47fec0942fa0