Biarpun kota kecil, Wonosobo tidak akan pernah kehabisan talenta-talenta mudanya. Dari ujung utara Dieng – Kejajar hingga pelosok selatan Kaliwiro dan Wadaslintang, tersimpan banyak anak-anak muda berprestasi dan siap jadi tulang punggung kemajuan bangsa ini. Semakin digali, ternyata semakin banyak ditemukan kisah anak-anak muda pelosok desa Wonosobo yang sangat menginspirasi kita semua. Kali ini Tim Redaksi Wonosobo Muda berkesempatan mengupas salah satu profil pemuda Wonosobo dari desa Sumberejo, Wadaslintang, yang telah malang melintang merantau hingga kini berhasil mendapatkan beasiswa S2 ke Negeri China. Dialah Muhammad Hasim Habibil Mustofa atau biasa dipanggil Habiby. Penasaran kan dengan perjalanan pemuda alumni pesantren yang juga sempat menjadi jurnalis ini? Yuk kita simak ceritanya.

Besar di Keluarga Santri

Habiby merupakan putra kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Nur Salim dan Ibu Choeriyah. Pemuda kelahiran 21 September 1989 ini menghabiskan masa kecilnya di Desa Sumberejo, Wadaslintang, Wonosobo. Ia tumbuh dan berkembang di keluarga lulusan pesantren, sehingga mau tidak mau ia dan saudara-saudaranya harus mengikuti jejak orang tua. Setelah lulus dari SD Negeri 2 Sumberejo, Wadaslintang, ia didorong untuk “keluar rumah” dan belajar hidup mandiri di pesantren. Ia diberikan dua pilihan, yaitu nyantri di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen, atau Pondok Pesantren di Pulungsari Kaliwiro, Wonosobo. Pilihan pertama merupakan tempat ayahnya dulu menimba ilmu, sedangkan pilihan kedua merupakan tempat salah satu kakeknya. Dengan alasan tidak kuat dengan dinginnya Wonosobo, akhirnya pemuda yang hobi membaca dan sepakbola ini memutuskan untuk menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Kahfi, Somalangu, Kebumen. Ia menjadi santri di sana selama tujuh tahun dari SMP hingga SMK. Alumni dari SMP Islam Al-Kahfi Somalangu dan SMK Maarif 3 Kebumen ini kemudian mendapatkan kesempatan untuk merantau ke Jakarta dan melanjutkan kuliah di President University.

Sempat Gagal Lolos SNMPTN Dua Kali

Sejak SMP, Habiby sudah punya cita-cita untuk bisa kuliah dan menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Namun, perjalanannya tidak semudah yang ia bayangkan. Di tahun pertama ia lulus SMA, ia harus mengubur keinginannya, karena tidak lolos seleksi SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Namun, ia tak menyerah sampai di situ. Ia bertekad untuk mendaftar kembali pada kesempatan di tahun berikutnya. Sembari menunggu periode pendaftaran SNMPTN dibuka kembali, ia menghabiskan waktunya dengan bekerja di salah satu perusahaan di Kawasan Industri Bekasi, Jawa Barat. Ia masih ingat betul pada saat itu ia masih sempat memboyong buku-buku pelajaran walaupun statusnya sudah menjadi buruh perusahaan. Habiby terus istiqomah belajar sepulang kerja hingga periode ujian SNMPTN kembali digelar. Tiga bulan sebelum ujian SNMPTN dimulai, ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan fokus mempersiapkan mental untuk ujian. Keputusannya tidak disambut dengan baik oleh kedua orang tuanya. Mereka menganggap kondisi Habiby waktu itu sudah sangat bagus, yaitu memiliki pekerjaan dengan gaji yang tidak sedikit.

Namun, ia sudah punya tekad yang bulat. Ia berhenti dari pekerjaannya, pindah ke Yogyakarta, dan tinggal bersama kakaknya yang pada saat itu berkuliah di Universitas Gajah Mada. Kebetulan ia sudah mempersiapkan tabungan yang cukup untuk keberlangsungan hidupnya. Tiga bulan itu Habiby belajar mati-matian mempersiapkan segala yang diperlukan untuk ujian SNMPTN. Sebenarnya, ia tidak perlu repot-repot seperti ini, karena orang tua sudah mempersiapkannya untuk pulang ke rumah dan kuliah di kota yang lebih dekat. Khususnya Ibu, beliau selalu mendambakan Habiby menjadi seorang guru dan tinggal bersamanya di kampung halaman. Bagi Ibu, pada waktu itu, menjadi guru merupakan simbol kesuksesan seseorang anak muda. Namun, sebaliknya bagi Habiby sebagai anak muda dengan ambisi yang sangat tinggi, ia ingin merantau dan mengejar cita-citanya sendiri.

Singkat cerita, ujian SNMPTN akhirnya datang, ia dengan penuh percaya diri memilih pilihan utama yaitu Universitas Indonesia yang passing grade-nya tinggi dan dua perguruan tinggi negeri sebagai alternatif. Meskipun sebenarnya saat itu bagi ia tidak kuliah di UI sama saja tidak kuliah. Perasaan ini muncul karena Habiby sudah terlalu lama memimpikan hal tersebut. Setelah ujian SNMPTN usai, rasa penasaran bercampur dengan kekhawatiran itu menjadi satu. Ia sudah berpikir kalau sampai ia diterima ia akan memamerkan hasil itu di depan ibu. Hal ini dikarenakan ibu masih kecewa dengan keputusannya keluar dari pekerjaannya yang lama.

Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, pengumuman ujian SNMPTN ia buka secara online jam tiga dini hari. Dan ternyata betul, untuk kedua kalinya Habiby tidak lolos lagi. Dengan kondisi mental yang jatuh, ia masih menyempatkan untuk mengabari Ayah, mengenai hasil ujian itu. Ia belum berani bicara dengan ibu. Ia merasa kasihan membayangkan ibunya menangis, kecewa, dan sedih.

Pada waktu itu, ia memutuskan untuk mengasingkan diri ke rumah nenek di Kebumen. Habiby benar-benar membutuhkan waktu sendiri, tanpa memberi tahu siapapun. Namun, nampaknya Ayah Habiby paham betul tempat pelariannya selama ini. Ayahnya menyusul dan mengajaknya berbicara.

“Yah, mungkin benar kata ibu, saya cukup menjadi orang yang sederhana saja, sekarang saya akan menurut kata beliau, saya akan pulang dan kuliah yang dekat-dekat saja– Habiby kepada Ayahnya.

Namun, Ayah Habiby justru merespon sebaliknya: “Kamu tidak boleh bicara seperti itu, sebagai anak laki-laki kamu harus berani mengejar apa yang kamu mau. Jangan sekali-kali merubah arah hanya karena tersandung. Pokoknya apa yang kamu mau, Ayah dukung semampunya. Jadilah apapun yang kamu mau!

Ajaib memang, ucapan Ayahnya itu sontak membangkitkan keterpurukan dalam diri Habiby saat itu. Ia kemudian pamit berangkat merantau ke Jakarta lagi. Dan singkat cerita, akhirnya Habiby memutuskan untuk kuliah S1 di President University. Ia memilih kampus tersebut dengan satu alasan, yaitu karena merupakan kampus dengan perkuliahan berbahasa Inggris pertama di Indonesia. Ia pun melampiaskan kegagalan itu dengan menjadi mahasiswa super aktif, baik akademis maupun non-akademis.

Sempat Ikut Program Pertukaran Pelajar ke Jepang

Dari pengalaman kegagalannya sebelumnya, sebenarnya ia memiliki keraguan yang besar saat menginginkan kuliah di Jakarta. Keraguan itu adalah ia tidak yakin orang tuanya mampu membiayai kuliahnya. Ia merasa tidak enak, karena pada waktu itu, keempat anak orang tunya sedang bersekolah dan di pesantren. Bahkan kakak Habiby juga masih berkuliah di UGM. Dan keraguan itu sangat mengganggu niatnya. Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk mengambil keputusan paling ideal, yaitu berkuliah sambil bekerja. Dan alhamdulillah, ia diberi jalan dan mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan telekomunikasi besar yang memungkinkannya bisa kuliah seperti mahasiswa biasa, dan bekerja di malam hari. Sejak di bangku kuliah, ia juga sempat bekerja part-time sebagai jurnalis di The President Post, sebuah koran berbahasa Inggris yang beredar untuk kantor-kantor gubernur Jawa-Bali dan perusahaan-perusahaan. Pada tahun 2016, ia terpilih menjadi salah satu peserta pertukaran pelajar JENESYS Batch VI. JENESYS (Japan East Asia Network of Youths and Exchange Students) merupakan rangkaian program yang diadakan oleh The Japan Foundation untuk anak-anak muda di kawasan Asia untuk datang mengunjungi Jepang dalam program kunjungan jangka pendek. Pada waktu itu, program yang diusung bertema tentang religious and culture, hingga pada waktu itu pihak JICE sebagai penyelenggara program, ingin mengundang pemuda NU dan Muhammadiyah sebagai representasi pemuda Islam Indonesia. Sebagai alumni pesantren yang kehidupannya tidak jauh dari lingkungan Nahdlatul Ulama, Habiby terpilih menjadi salah satu wakil pemuda NU.

Mendapatkan Beasiswa S2 ke Cina

Selepas mendapatkan gelar Sarjana, kini Habiby merupakan mahasiswa mahasiswa Master of Business Administration (MBA) di Wuhan University of Technology, China. Ia mendapatkan informasi mengenai beasiswa Pemerintah China (Chinese Government Scholarship) dari salah satu dosen yang juga merupakan senior lulusan kampus di China. Habiby pun mengikuti alur dan proses mendapatkan beasiswa tersebut. Ia memasukan beberapa pengalamannya di dalam personal statement untuk mendaftar beasiswa tersebut. Selain pengalamannya bekerja sebagai jurnalis paruh waktu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, mulai dari intra kampus, di mana ia pernah menjadi ketua BEM fakultas, dan beberapa organisasi di luar kampus. Ia juga pernah mengikuti beberapa kompetisi menulis seperti PLN Journalist Contest (2017) dan tulisannya dimuat di jurnal internasional dengan judul Analysis of Political Campaign through Facebook in Indonesia Presidential Election 2014. Lewat profilnya tersebut, ia berhasil mendapatkan beasiswa dari Pemerintah China dan berkuliah di Wuhan University of Technology. Habiby saat ini tengah sibuk menyelesaikan penelitian tesisnya mengenai financial technology dalam industri digital.

Pengalaman Menarik di Negeri Tirai Bambu

Salah satu pengalaman menarik yang ia alami selama menuntut ilmu di China adalah menjelajahi wilayah utara China dengan suhu ekstrim minus 40°C yang sangat menguras fisiknya. Di setiap kota yang ia kunjungi, ia selalu menyempatkan diri untuk mendatangi masjid di wilayah tersebut. Selain untuk shalat, yang menarik adalah menggali sejarah Islam di negeri Tirai Bambu dengan mewancarai Imam atau pengurus masjid. Tentu banyak sekali cerita menarik di sana, salah satunya ia bertemu dengan Rais Masjid kota Harbin, di mana beliau menceritakan tentang Islam di China dahulu hingga kisah tentang Laksamana Cheng Ho mendakwahkan Islam ke Indonesia. Dan selain itu, tentu sambutan yang sangat ramah selalu ia dapatkan di kota-kota yang ia kunjungi.

Mimpi dan Pesan untuk Kawan Muda

Habiby bermimpi bahwa negara Indonesia kelak tentu bisa menjadi negara yang lebih maju ke depannya tanpa harus kehilangan identitasnya. Untuk kota tercinta, Wonosobo, sedari kecil Habiby bermimpi ingin menjadikan hutan-hutan Wonosobo sebagai destinasi wisata alam yang besar sehingga wisatawan bisa menikmati alam tersebut dengan kereta gantung dan di bawahnya banyak dinosaurus. Kira-kira mirip seperti yang ada di film Jurasic Park. Setelah beranjak dewasa, ia sadar bahwa dinosaurus ternyata sudah punah. Namun, khayalan itu berubah dengan mengganti dinosaurusnya dengan model 3D. Wow, semoga kelak tercapai ya mas!

Terakhir, kepada kawan muda, terutama di Wonosobo, Habiby berpesan:

“Kita ini orang gunung, jika gelapnya hutan saja takut, jangan pernah bermimpi menjadi apapun.” – Hasim Habiby

Dalam perjalanan menuju tujuan yang ingin kita capai, tentu ada keraguan dan halangan yang selalu menghantui. Semua itu harus kita lawan dengan doa dan usaha yang keras. Do hard, pray well! Kepada Wonosobo Muda, Habiby juga berharap forum ini dapat menjadi wadah tempat berkumpulnya ide anak muda Wonosobo dan terus menginspirasi generasi muda.

Terima kasih atas inspirasinya, mas Habiby!

 

Advertisements
google.com, pub-3699623534636543, DIRECT, f08c47fec0942fa0